Text Practice Mode
Raka simau tau
created Sep 5th, 11:20 by Loki Pintar
1
490 words
25 completed
0
Rating visible after 3 or more votes
saving score / loading statistics ...
00:00
Di sebuah desa yang tenang, jauh dari hiruk pikuk kota, hiduplah seorang anak bernama Raka. Raka adalah anak yang penuh rasa ingin tahu. Setiap hari ia selalu membawa banyak pertanyaan di kepalanya, mulai dari hal kecil hingga hal besar. Ia suka membaca buku, menonton langit, dan menuliskan semua pikirannya dalam sebuah buku catatan kecil.
Sejak pertama kali mengenal komputer di sekolah, Raka merasa kagum. Ia melihat gurunya mengetik begitu cepat di depan kelas. Jari-jemari gurunya menari di atas papan ketik seperti sedang memainkan alat musik. Sejak saat itu, Raka bertekad untuk belajar mengetik dengan cepat.
Laptop yang ia miliki sebenarnya sudah tua. Layarnya kadang berkedip, baterainya cepat habis, dan huruf pada beberapa tombol hampir pudar. Namun bagi Raka, laptop itu adalah harta paling berharga. Ia merawatnya dengan hati-hati, membersihkannya setiap minggu, dan selalu bersyukur karena masih bisa digunakan untuk mengetik.
Setiap sore, setelah menyelesaikan pekerjaan rumah, Raka duduk di teras rumah. Angin sore yang sejuk dan suara burung menjadi teman setianya. Di sana, ia mulai mengetik cerita apa saja yang muncul di pikirannya. Kadang ia menulis tentang persahabatan, kadang tentang petualangan, dan kadang tentang mimpi-mimpinya di masa depan.
Awalnya, Raka mengetik dengan sangat lambat. Ia harus melihat huruf satu per satu di papan ketik. Jari-jemarinya kaku dan sering salah menekan tombol. Tetapi ia tidak menyerah. Ia tahu bahwa semua keterampilan membutuhkan latihan. Semakin sering ia mencoba, semakin cepat ia mengetik.
Hari demi hari berlalu. Kecepatan mengetik Raka perlahan meningkat. Ia tidak lagi terlalu sering melihat papan ketik, melainkan fokus pada layar. Ia merasa bangga setiap kali berhasil menyelesaikan satu cerita. Meski cerita-ceritanya sederhana, ia percaya bahwa menulis adalah cara untuk menguatkan pikirannya.
Suatu hari, ibunya mendekatinya.
“Raka, kenapa kamu selalu mengetik setiap sore?” tanya ibunya.
“Aku ingin menjadi penulis, Bu. Aku ingin membuat buku yang bisa dibaca banyak orang,” jawab Raka sambil tersenyum.
Ibunya terdiam sejenak, lalu tersenyum bangga.
“Kalau begitu, teruslah menulis. Jangan berhenti meski sulit. Ingat, semua orang besar memulai dari langkah kecil.”
Kata-kata ibunya membuat Raka semakin semangat. Ia mulai menargetkan diri untuk mengetik setidaknya satu halaman setiap hari. Kadang ia menulis tentang pengalaman sekolah, kadang tentang mimpi mengunjungi kota besar, dan kadang ia hanya menulis apa yang ia lihat di sekeliling rumahnya.
Semakin lama, mengetik bukan hanya menjadi latihan, tetapi juga menjadi kebiasaan. Setiap kali ia mendengar suara ketikan di laptop, hatinya terasa tenang. Ia tahu bahwa dengan terus berlatih, mimpinya akan semakin dekat.
Beberapa bulan kemudian, Raka berhasil menyelesaikan cerita panjang pertamanya. Cerita itu tentang seorang anak desa yang berjuang mengejar cita-cita, mirip dengan dirinya sendiri. Ia mencetak cerita itu dan menunjukkannya pada gurunya. Sang guru terharu membaca tulisan Raka, dan berkata, “Tulisanmu sederhana, tapi penuh semangat. Teruslah menulis, Raka. Siapa tahu suatu hari nanti, namamu akan dikenal banyak orang.”
Sejak hari itu, Raka semakin percaya diri. Ia sadar bahwa menulis dan mengetik bukan hanya tentang kecepatan, tetapi juga tentang ketekunan. Dan di setiap ketukan huruf, ia sedang melangkah menuju masa depan yang ia impikan.
Sejak pertama kali mengenal komputer di sekolah, Raka merasa kagum. Ia melihat gurunya mengetik begitu cepat di depan kelas. Jari-jemari gurunya menari di atas papan ketik seperti sedang memainkan alat musik. Sejak saat itu, Raka bertekad untuk belajar mengetik dengan cepat.
Laptop yang ia miliki sebenarnya sudah tua. Layarnya kadang berkedip, baterainya cepat habis, dan huruf pada beberapa tombol hampir pudar. Namun bagi Raka, laptop itu adalah harta paling berharga. Ia merawatnya dengan hati-hati, membersihkannya setiap minggu, dan selalu bersyukur karena masih bisa digunakan untuk mengetik.
Setiap sore, setelah menyelesaikan pekerjaan rumah, Raka duduk di teras rumah. Angin sore yang sejuk dan suara burung menjadi teman setianya. Di sana, ia mulai mengetik cerita apa saja yang muncul di pikirannya. Kadang ia menulis tentang persahabatan, kadang tentang petualangan, dan kadang tentang mimpi-mimpinya di masa depan.
Awalnya, Raka mengetik dengan sangat lambat. Ia harus melihat huruf satu per satu di papan ketik. Jari-jemarinya kaku dan sering salah menekan tombol. Tetapi ia tidak menyerah. Ia tahu bahwa semua keterampilan membutuhkan latihan. Semakin sering ia mencoba, semakin cepat ia mengetik.
Hari demi hari berlalu. Kecepatan mengetik Raka perlahan meningkat. Ia tidak lagi terlalu sering melihat papan ketik, melainkan fokus pada layar. Ia merasa bangga setiap kali berhasil menyelesaikan satu cerita. Meski cerita-ceritanya sederhana, ia percaya bahwa menulis adalah cara untuk menguatkan pikirannya.
Suatu hari, ibunya mendekatinya.
“Raka, kenapa kamu selalu mengetik setiap sore?” tanya ibunya.
“Aku ingin menjadi penulis, Bu. Aku ingin membuat buku yang bisa dibaca banyak orang,” jawab Raka sambil tersenyum.
Ibunya terdiam sejenak, lalu tersenyum bangga.
“Kalau begitu, teruslah menulis. Jangan berhenti meski sulit. Ingat, semua orang besar memulai dari langkah kecil.”
Kata-kata ibunya membuat Raka semakin semangat. Ia mulai menargetkan diri untuk mengetik setidaknya satu halaman setiap hari. Kadang ia menulis tentang pengalaman sekolah, kadang tentang mimpi mengunjungi kota besar, dan kadang ia hanya menulis apa yang ia lihat di sekeliling rumahnya.
Semakin lama, mengetik bukan hanya menjadi latihan, tetapi juga menjadi kebiasaan. Setiap kali ia mendengar suara ketikan di laptop, hatinya terasa tenang. Ia tahu bahwa dengan terus berlatih, mimpinya akan semakin dekat.
Beberapa bulan kemudian, Raka berhasil menyelesaikan cerita panjang pertamanya. Cerita itu tentang seorang anak desa yang berjuang mengejar cita-cita, mirip dengan dirinya sendiri. Ia mencetak cerita itu dan menunjukkannya pada gurunya. Sang guru terharu membaca tulisan Raka, dan berkata, “Tulisanmu sederhana, tapi penuh semangat. Teruslah menulis, Raka. Siapa tahu suatu hari nanti, namamu akan dikenal banyak orang.”
Sejak hari itu, Raka semakin percaya diri. Ia sadar bahwa menulis dan mengetik bukan hanya tentang kecepatan, tetapi juga tentang ketekunan. Dan di setiap ketukan huruf, ia sedang melangkah menuju masa depan yang ia impikan.
