Text Practice Mode
Setahun (Cerpen) - Punya Bang Raditya Dika part 1
created Friday August 22, 22:34 by nblzhstf
0
1111 words
1 completed
0
Rating visible after 3 or more votes
saving score / loading statistics ...
00:00
Sudah setahun kamu hilang, tapi aku masih ingat bentuk awan pagi itu. Kita berdua di depan rumahmu, kamu dengan tas gunung di punggung. Aku, yang masih mencoba setengah mati untuk menahan kamu pergi, kamu yang malah membahas awan.
‘Lihat deh awan itu, bentuknya kayak apa?’ tanya kamu.Aku melihat ke arah langit biru, ke arah ujung telunjukmu. Aku jawab jujur, ‘Kayak gumpalan lemak.’
‘Enggak dong, Momo,’ katamu. ‘Itu lihat, kaya kucing ya.’
Aku melihat kembali ke arah awan, lalu aku bilang, ‘Iya, kalau kucingnya terjepit di antara gumpalan lemak.’
‘Ada apa sih dengan kamu dan lemak?’ tanya kamu kesal. ‘Udah ya, ceweknya mau pergi naik gunung dulu.’
‘Harus banget?’ tanyaku.
‘Aku kan udah bilang dari minggu yang lalu.’ Dia tersenyum. ‘Jangan kangen-kangen amat ya.’ Seandainya aku tahu, setelah ini aku tidak akan pernah mendengar suaramu lagi.
Sudah setahun kamu hilang, tapi aku masih menyalahkan diriku. Kenapa aku tidak ikutan naik gunung? Cowok macam apa yang tidak menemani ceweknya mendaki? Cowok macam aku, mungkin, bernama Momo, yang memang gak diperbolehkan orangtuanya naik gunung, karena punya masalah dengan jantungnya dari lahir. Momo, yang namanya saja seperti nama perempuan. Momo, yang kesal waktu main ke pet shop ada hamster albino diajak ngobrol sama majikannya, ‘Momo, ini kandang baru kamu, Momo.’
Nasib punya nama yang terlalu imut.
Sudah setahun kamu hilang, tapi aku masih penasaran bagaimana kamu bisa hilang. Kata teman-temanmu, kamu berusaha untuk lebih cepat dari yang lainnya. Kamu memang terkenal tangguh, tim kapten futsal cewek, tapi rasanya gak perlu mendaki dengan tergesa-gesa, meninggalkan teman lain yang kecapean kan? Karena ketika kamu ke atas sendirian, lalu hilang tidak kembali, aku yang sekarang sendirian. Kami yang sekarang sendirian. Kami yang masih menunggumu pulang.
Tim pencarian tidak menemukan apa-apa, dan setelah sekian lama, mereka akhirnya berhenti. Aku masih ingat tanya ibumu kepada mereka, ‘Jadi sekarang Nadia, anak saya, bagaimana?’ Tim pencarian tidak bisa menjawab, bingung cara menyampaikan kemungkinan besar kamu tidak selamat.
Sudah setahun kamu hilang, tapi aku masih pergi ke tempat favorit kita dulu. Aku masih datang ke Bartos Cafe, dekat rumahmu. Memesan satu es teh manis tanpa gula. Minum dari gelas langsung, padahal sedotan ada di dalamnya. Itu yang kamu kesalkan biasanya, bukan?
Katamu dulu, ‘Itu ada sedotan, kok malah minumnya gitu?’
‘Biar diperhatiin aja,’ kataku.
‘Masih kurang?’ tanyamu.
‘Selalu kurang,’ kataku.
Lalu kamu senyum merasa geli. Tapi jujur, gombalanku cukup dahsyat kan? Percayalah, aku punya lebih banyak lagi, ketika kamu pulang nanti.
Sudah setahun kamu hilang, tapi aku masih mampir setiap minggu di ujung jalan rumahmu. Melihat awan, memandangi pagar rumahmu, berusaha berpegangan kepada penggalan cerita kita dulu, yang semakin hari terasa semakin samar.
Hari ini, di ujung jalan, aku mencoba menebak apa bentuk awan hari itu. Kadang seperti roti, kadang seperti kapas, tapi kenapa yang terlihat di kepalaku tidak pernah seperti kucing. Sebuah suara lirih memecahkan lamunanku, ‘Meong.’
Di selokan dekat rumahmu aku melihat ada kucing kecil di dalamnya. Matanya tertutup. Badannya ringkih, dia sudah pasti akan mati jika aku tinggalkan.
‘Eh, kucing. Kamu kenapa?’ kataku kepada kucing itu.
Aku juga tidak tahu kenapa aku bertanya dengan Bahasa Indonesia ke kucing ini. Jika kucing ini bisa menjawab, ‘Gak apa-apa, cuy.’ Pasti aku langsung bikin channel Youtube sendiri, minta kucing ajaib ini nge-vlog.
Si kucing ringkih gemetaran, mencoba berjalan, seperti agar-agar di tengah siang hari bolong. Dia lalu tergeletak, lemah. Aku membawanya pulang, membungkusnya dengan baju ganti di dalam tas, aku bilang kepada kucing itu, ‘Mulai hari ini nama kamu Awan.’
Jujur, aku gak suka kucing. Menurutku mereka makhluk egois yang terlihat sombong. Kata orang lucu, tapi menurutku pandangan mereka terlalu dingin. Seolah ada hal jahat yang mereka rencanakan setiap hari. Seolah mereka merasa lebih baik dari manusia.
Tapi aku belajar menyayangi Awan, karena aku yakin ada yang mengatur pertemuan kami hari itu. Pelan-pelan, aku belajar soal kucing. Awan suka mendengkur keras ketika dielus, awalnya aku bingung, sampai harus bertanya kepada teman yang memelihara kucing, ‘Eh, ini kucing gue kok menggeram keras banget. Dia mau bunuh gue apa gimana ya?’ ‘Engga,’ kata temanku. ‘Kucing kalau mendengkur artinya dia sayang.’
‘Cara yang aneh untuk menunjukkan rasa sayang,’ kataku.
‘Lah kalau ada kucing yang tiba-tiba bisa cium pipi pasti lebih aneh lagi,’ kata temanku.
Sudah setahun kamu hilang, tapi aku masih suka membaca history chat kita di handphone. Awan duduk di pangkuan, sambil melihat baris demi baris chat kita saling berbalas. Malam itu aku sedang membaca chatmu kepadaku, tentang kamu mengingatkan agar aku jangan sering-sering makan mie instan malam-malam yang aku balas ‘oke’, terus kamu nanya, ‘oke doang?’ lalu aku teruskan ‘oke sayang.’ dan kamu balas ‘bagus.’ Lalu aku balas, ‘bagus doang?’ dan kamu jawab, ‘bagus sayang.’ Betapa hal-hal remeh seperti ini bisa membuatku rindu sampai susah tidur.
Awan jadi teman terbaik buat aku menjalani hari tanpa kamu. Paling tidak, di kantor ada kegiatan tambahan. Di dalam kubikel kecilku itu, di tengah-tengah jam gabut aku bisa Google ‘Cara Merawat Kucing’ atau ’10 Tanda Kucing Mau Kawin’ atau ‘Apakah Kucing Hendak Menguasai Dunia?’
Teman kantorku melihat ini dengan positif. ‘Bagus deh lo jadi pelihara kucing,’ kata dia. ‘Biar lo gak galau melulu. Biar lo cepet gemuk lagi.’
Memang, patah hati adalah diet yang terbaik.
Tidak semua temen kantorku seperti ini. Ada juga yang seenaknya bilang, ‘Lo kenapa sih udah setahun masih ngarep aja? Gak mau cari cewek lain?’
Biasanya aku hanya membalas singkat, ‘Engga.’
Dia malah bilang, ‘Udahlah, anggep aja diputusin.’
Aku tidak menjawab.
Seandainya dia tahu, ini tidak seperti diputusin. Ini jauh lebih sakit. Kalau diputusin, ditinggalkan, diselingkuhi, kita tahu orang itu tidak akan balik. Tapi, kalau orangnya hilang, kita bisa apa? Ada dilema antara menunggu atau berhenti berharap, antara maju kembali atau diam di tempat. Kadang ada sih harapan kamu tiba-tiba datang mengetuk pintu di suatu sore dan bilang ini semua hanya prank.
Keterlaluan sih, kalau begitu.Prank yang sangat niat, tapi tetap keterlaluan.
Ada juga saudara jauh datang ke aku, dan bilang, ‘Momo, gue tahu kok rasanya kaya gimana.’ Lagi-lagi aku diam. Dia tidak tahu rasanya gimana. Orang bisa menunjukkan empatinya, tapi tidak ada yang tahu rasanya. Aku saja masih merasa kehilangan kamu sesuatu yang asing. Sesuatu yang aku tidak siap untuk rasakan. Bagaimana orang bisa merasa paham?
Suatu sore Awan sakit. Dia terlihat lesu, lebih malas dari biasanya. Dia gak mau main, bahkan mainan favoritnya, yaitu kaos kaki bekasku yang sering dia gigit-gigit, juga tidak dia gubris. Aku sempat berpikir jangan-jangan bau kakiku yang membuat dia sakit seperti ini, tapi sepertinya problemnya jauh lebih parah dari itu. Takut Awan kenapa-kenapa, aku bawa dia ke dokter.
Sesampainya di dokter hewan, dokter bertanya, ‘’Namanya kucingnya siapa?’
‘Awan,’ kataku.
‘Nama kucingnya Awan?’ tanya dokter hewan. Dia tersenyum. ‘Nama suami saya Awan juga lho.’
‘Oh, ya? Nama saya Momo, saya pasti sering juga kok jadi nama kucing.’
‘Lihat deh awan itu, bentuknya kayak apa?’ tanya kamu.Aku melihat ke arah langit biru, ke arah ujung telunjukmu. Aku jawab jujur, ‘Kayak gumpalan lemak.’
‘Enggak dong, Momo,’ katamu. ‘Itu lihat, kaya kucing ya.’
Aku melihat kembali ke arah awan, lalu aku bilang, ‘Iya, kalau kucingnya terjepit di antara gumpalan lemak.’
‘Ada apa sih dengan kamu dan lemak?’ tanya kamu kesal. ‘Udah ya, ceweknya mau pergi naik gunung dulu.’
‘Harus banget?’ tanyaku.
‘Aku kan udah bilang dari minggu yang lalu.’ Dia tersenyum. ‘Jangan kangen-kangen amat ya.’ Seandainya aku tahu, setelah ini aku tidak akan pernah mendengar suaramu lagi.
Sudah setahun kamu hilang, tapi aku masih menyalahkan diriku. Kenapa aku tidak ikutan naik gunung? Cowok macam apa yang tidak menemani ceweknya mendaki? Cowok macam aku, mungkin, bernama Momo, yang memang gak diperbolehkan orangtuanya naik gunung, karena punya masalah dengan jantungnya dari lahir. Momo, yang namanya saja seperti nama perempuan. Momo, yang kesal waktu main ke pet shop ada hamster albino diajak ngobrol sama majikannya, ‘Momo, ini kandang baru kamu, Momo.’
Nasib punya nama yang terlalu imut.
Sudah setahun kamu hilang, tapi aku masih penasaran bagaimana kamu bisa hilang. Kata teman-temanmu, kamu berusaha untuk lebih cepat dari yang lainnya. Kamu memang terkenal tangguh, tim kapten futsal cewek, tapi rasanya gak perlu mendaki dengan tergesa-gesa, meninggalkan teman lain yang kecapean kan? Karena ketika kamu ke atas sendirian, lalu hilang tidak kembali, aku yang sekarang sendirian. Kami yang sekarang sendirian. Kami yang masih menunggumu pulang.
Tim pencarian tidak menemukan apa-apa, dan setelah sekian lama, mereka akhirnya berhenti. Aku masih ingat tanya ibumu kepada mereka, ‘Jadi sekarang Nadia, anak saya, bagaimana?’ Tim pencarian tidak bisa menjawab, bingung cara menyampaikan kemungkinan besar kamu tidak selamat.
Sudah setahun kamu hilang, tapi aku masih pergi ke tempat favorit kita dulu. Aku masih datang ke Bartos Cafe, dekat rumahmu. Memesan satu es teh manis tanpa gula. Minum dari gelas langsung, padahal sedotan ada di dalamnya. Itu yang kamu kesalkan biasanya, bukan?
Katamu dulu, ‘Itu ada sedotan, kok malah minumnya gitu?’
‘Biar diperhatiin aja,’ kataku.
‘Masih kurang?’ tanyamu.
‘Selalu kurang,’ kataku.
Lalu kamu senyum merasa geli. Tapi jujur, gombalanku cukup dahsyat kan? Percayalah, aku punya lebih banyak lagi, ketika kamu pulang nanti.
Sudah setahun kamu hilang, tapi aku masih mampir setiap minggu di ujung jalan rumahmu. Melihat awan, memandangi pagar rumahmu, berusaha berpegangan kepada penggalan cerita kita dulu, yang semakin hari terasa semakin samar.
Hari ini, di ujung jalan, aku mencoba menebak apa bentuk awan hari itu. Kadang seperti roti, kadang seperti kapas, tapi kenapa yang terlihat di kepalaku tidak pernah seperti kucing. Sebuah suara lirih memecahkan lamunanku, ‘Meong.’
Di selokan dekat rumahmu aku melihat ada kucing kecil di dalamnya. Matanya tertutup. Badannya ringkih, dia sudah pasti akan mati jika aku tinggalkan.
‘Eh, kucing. Kamu kenapa?’ kataku kepada kucing itu.
Aku juga tidak tahu kenapa aku bertanya dengan Bahasa Indonesia ke kucing ini. Jika kucing ini bisa menjawab, ‘Gak apa-apa, cuy.’ Pasti aku langsung bikin channel Youtube sendiri, minta kucing ajaib ini nge-vlog.
Si kucing ringkih gemetaran, mencoba berjalan, seperti agar-agar di tengah siang hari bolong. Dia lalu tergeletak, lemah. Aku membawanya pulang, membungkusnya dengan baju ganti di dalam tas, aku bilang kepada kucing itu, ‘Mulai hari ini nama kamu Awan.’
Jujur, aku gak suka kucing. Menurutku mereka makhluk egois yang terlihat sombong. Kata orang lucu, tapi menurutku pandangan mereka terlalu dingin. Seolah ada hal jahat yang mereka rencanakan setiap hari. Seolah mereka merasa lebih baik dari manusia.
Tapi aku belajar menyayangi Awan, karena aku yakin ada yang mengatur pertemuan kami hari itu. Pelan-pelan, aku belajar soal kucing. Awan suka mendengkur keras ketika dielus, awalnya aku bingung, sampai harus bertanya kepada teman yang memelihara kucing, ‘Eh, ini kucing gue kok menggeram keras banget. Dia mau bunuh gue apa gimana ya?’ ‘Engga,’ kata temanku. ‘Kucing kalau mendengkur artinya dia sayang.’
‘Cara yang aneh untuk menunjukkan rasa sayang,’ kataku.
‘Lah kalau ada kucing yang tiba-tiba bisa cium pipi pasti lebih aneh lagi,’ kata temanku.
Sudah setahun kamu hilang, tapi aku masih suka membaca history chat kita di handphone. Awan duduk di pangkuan, sambil melihat baris demi baris chat kita saling berbalas. Malam itu aku sedang membaca chatmu kepadaku, tentang kamu mengingatkan agar aku jangan sering-sering makan mie instan malam-malam yang aku balas ‘oke’, terus kamu nanya, ‘oke doang?’ lalu aku teruskan ‘oke sayang.’ dan kamu balas ‘bagus.’ Lalu aku balas, ‘bagus doang?’ dan kamu jawab, ‘bagus sayang.’ Betapa hal-hal remeh seperti ini bisa membuatku rindu sampai susah tidur.
Awan jadi teman terbaik buat aku menjalani hari tanpa kamu. Paling tidak, di kantor ada kegiatan tambahan. Di dalam kubikel kecilku itu, di tengah-tengah jam gabut aku bisa Google ‘Cara Merawat Kucing’ atau ’10 Tanda Kucing Mau Kawin’ atau ‘Apakah Kucing Hendak Menguasai Dunia?’
Teman kantorku melihat ini dengan positif. ‘Bagus deh lo jadi pelihara kucing,’ kata dia. ‘Biar lo gak galau melulu. Biar lo cepet gemuk lagi.’
Memang, patah hati adalah diet yang terbaik.
Tidak semua temen kantorku seperti ini. Ada juga yang seenaknya bilang, ‘Lo kenapa sih udah setahun masih ngarep aja? Gak mau cari cewek lain?’
Biasanya aku hanya membalas singkat, ‘Engga.’
Dia malah bilang, ‘Udahlah, anggep aja diputusin.’
Aku tidak menjawab.
Seandainya dia tahu, ini tidak seperti diputusin. Ini jauh lebih sakit. Kalau diputusin, ditinggalkan, diselingkuhi, kita tahu orang itu tidak akan balik. Tapi, kalau orangnya hilang, kita bisa apa? Ada dilema antara menunggu atau berhenti berharap, antara maju kembali atau diam di tempat. Kadang ada sih harapan kamu tiba-tiba datang mengetuk pintu di suatu sore dan bilang ini semua hanya prank.
Keterlaluan sih, kalau begitu.Prank yang sangat niat, tapi tetap keterlaluan.
Ada juga saudara jauh datang ke aku, dan bilang, ‘Momo, gue tahu kok rasanya kaya gimana.’ Lagi-lagi aku diam. Dia tidak tahu rasanya gimana. Orang bisa menunjukkan empatinya, tapi tidak ada yang tahu rasanya. Aku saja masih merasa kehilangan kamu sesuatu yang asing. Sesuatu yang aku tidak siap untuk rasakan. Bagaimana orang bisa merasa paham?
Suatu sore Awan sakit. Dia terlihat lesu, lebih malas dari biasanya. Dia gak mau main, bahkan mainan favoritnya, yaitu kaos kaki bekasku yang sering dia gigit-gigit, juga tidak dia gubris. Aku sempat berpikir jangan-jangan bau kakiku yang membuat dia sakit seperti ini, tapi sepertinya problemnya jauh lebih parah dari itu. Takut Awan kenapa-kenapa, aku bawa dia ke dokter.
Sesampainya di dokter hewan, dokter bertanya, ‘’Namanya kucingnya siapa?’
‘Awan,’ kataku.
‘Nama kucingnya Awan?’ tanya dokter hewan. Dia tersenyum. ‘Nama suami saya Awan juga lho.’
‘Oh, ya? Nama saya Momo, saya pasti sering juga kok jadi nama kucing.’
