Text Practice Mode
Kisah Industri Mobil Indonesia
created Dec 4th, 10:47 by KarsaWijaya
2
350 words
13 completed
5
Rating visible after 3 or more votes
00:00
Jakarta, 1975
Bambang Sutejo menatap kertas-kertas berisi sketsa mobil di mejanya dengan tatapan penuh harap. Selama lima tahun terakhir, insinyur muda lulusan ITB ini telah menghabiskan waktunya untuk merancang mobil nasional yang sesuai dengan kondisi jalan dan iklim Indonesia.
"Pak Bambang, ada tamu dari Jepang nih," ujar sekretarisnya.
Bambang menghela napas panjang. Ini adalah pertemuan kesepuluh dengan investor potensial dalam dua tahun terakhir. Sebelumnya, dia sudah bertemu dengan perwakilan dari Amerika, Jerman, dan Korea Selatan.
Di ruang rapat, Mr. Tanaka dari sebuah perusahaan otomotif Jepang tersenyum ramah. "Tuan, kami tertarik dengan desain Anda. Tapi bagaimana kalau kita ubah sedikit konsepnya? Daripada membuat mobil nasional, lebih baik kita dirikan pabrik perakitan saja di sini."
Bambang menggeleng. "Maaf, Tuan Tanaka. Saya ingin Indonesia punya teknologi sendiri, bukan sekadar merakit."
"Ah, Tuan Bambang," Mr. Tanaka tersenyum tipis. "Membangun industri otomotif dari nol itu sangat mahal. Anda butuh minimal 10 tahun research and development, belum lagi biaya untuk membangun infrastruktur produksi. Negara-negara maju saja butuh puluhan tahun untuk mengembangkan industri mobil mereka."
Setelah Mr. Tanaka pergi, Bambang duduk termenung di ruangannya. Dia teringat percakapannya dengan mentri perindustrian minggu lalu.
"Maaf Bambang, proposal kamu bagus. Tapi kita masih fokus ke industri dasar. Beras, minyak, tekstil. Mobil bisa nanti-nanti dulu."
Saat matahari terbenam, Bambang membereskan kertas-kertasnya. Di jalanan Jakarta yang macet, dia melihat deretan mobil-mobil buatan luar negeri. Toyota, Honda, Ford, Volkswagen.
"Mungkin belum waktunya," gumamnya. "Tapi suatu hari nanti, Indonesia pasti bisa."
Dua puluh tahun kemudian...
Bambang yang kini sudah beruban duduk di teras rumahnya, membaca koran pagi. Headline hari itu memberitakan tentang pabrik mobil baru yang akan dibangun di Indonesia - tapi bukan pabrik mobil nasional, melainkan pabrik perakitan milik perusahaan asing.
Dia tersenyum getir mengingat mimpinya dulu. Indonesia memang akhirnya menjadi salah satu basis produksi otomotif terbesar di Asia Tenggara, tapi bukan dengan cara yang dia impikan. Perlahan, dia mengeluarkan sketsa mobil lamanya dari laci, sketsa yang kini sudah menguning dimakan waktu.
"Setidaknya kita sudah mencoba," bisiknya pelan. "Dan mungkin suatu hari nanti, generasi berikutnya akan mewujudkan mimpi ini."
Di sudut sketsa itu, tertulis nama yang dia rencanakan untuk mobil nasional Indonesia: "Garuda-1".
Bambang Sutejo menatap kertas-kertas berisi sketsa mobil di mejanya dengan tatapan penuh harap. Selama lima tahun terakhir, insinyur muda lulusan ITB ini telah menghabiskan waktunya untuk merancang mobil nasional yang sesuai dengan kondisi jalan dan iklim Indonesia.
"Pak Bambang, ada tamu dari Jepang nih," ujar sekretarisnya.
Bambang menghela napas panjang. Ini adalah pertemuan kesepuluh dengan investor potensial dalam dua tahun terakhir. Sebelumnya, dia sudah bertemu dengan perwakilan dari Amerika, Jerman, dan Korea Selatan.
Di ruang rapat, Mr. Tanaka dari sebuah perusahaan otomotif Jepang tersenyum ramah. "Tuan, kami tertarik dengan desain Anda. Tapi bagaimana kalau kita ubah sedikit konsepnya? Daripada membuat mobil nasional, lebih baik kita dirikan pabrik perakitan saja di sini."
Bambang menggeleng. "Maaf, Tuan Tanaka. Saya ingin Indonesia punya teknologi sendiri, bukan sekadar merakit."
"Ah, Tuan Bambang," Mr. Tanaka tersenyum tipis. "Membangun industri otomotif dari nol itu sangat mahal. Anda butuh minimal 10 tahun research and development, belum lagi biaya untuk membangun infrastruktur produksi. Negara-negara maju saja butuh puluhan tahun untuk mengembangkan industri mobil mereka."
Setelah Mr. Tanaka pergi, Bambang duduk termenung di ruangannya. Dia teringat percakapannya dengan mentri perindustrian minggu lalu.
"Maaf Bambang, proposal kamu bagus. Tapi kita masih fokus ke industri dasar. Beras, minyak, tekstil. Mobil bisa nanti-nanti dulu."
Saat matahari terbenam, Bambang membereskan kertas-kertasnya. Di jalanan Jakarta yang macet, dia melihat deretan mobil-mobil buatan luar negeri. Toyota, Honda, Ford, Volkswagen.
"Mungkin belum waktunya," gumamnya. "Tapi suatu hari nanti, Indonesia pasti bisa."
Dua puluh tahun kemudian...
Bambang yang kini sudah beruban duduk di teras rumahnya, membaca koran pagi. Headline hari itu memberitakan tentang pabrik mobil baru yang akan dibangun di Indonesia - tapi bukan pabrik mobil nasional, melainkan pabrik perakitan milik perusahaan asing.
Dia tersenyum getir mengingat mimpinya dulu. Indonesia memang akhirnya menjadi salah satu basis produksi otomotif terbesar di Asia Tenggara, tapi bukan dengan cara yang dia impikan. Perlahan, dia mengeluarkan sketsa mobil lamanya dari laci, sketsa yang kini sudah menguning dimakan waktu.
"Setidaknya kita sudah mencoba," bisiknya pelan. "Dan mungkin suatu hari nanti, generasi berikutnya akan mewujudkan mimpi ini."
Di sudut sketsa itu, tertulis nama yang dia rencanakan untuk mobil nasional Indonesia: "Garuda-1".
saving score / loading statistics ...